Rabu, 28 Juli 2010

Menyikapi kuatnya Neoliberalisme di negri Pancasila

PS : tulisan ini dibuat pas ada tugas ilmu politik semester 1, kalo salah sarnnya ya:)

Oleh :Annisa Nidya Hapsari *

Sebelum melihat kenyataan – kenyataan yang terjadi di Indonesia, sebaiknya kita mengetahui terlebih dahulu apa arti dari neoliberalisme itu?. Neoliberalisme adalah suatu paham yang menganut bahwa campur tangan pemerintah haruslah sekecil mungkin tetapi tidak bias mengelak bahwa ada paham lain yang mengharuskan pemerintah untuk turun tangan dalam urusan Negara tersebut. Bisa dikatakan bahwa neoliberalisme adalah paham yang luarnya demokrasi tetapi dalamnya liberal. Paham ini lahir dari sebuah anggapan bahwa manusia merupakan makhluk yang cenderung egoistik yaitu selalu mengejar kepentingan dirinya sendiri untuk memperoleh manfaat sebesar – besarnya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya. Dalam hal tersebut sebisa mungkin meminimalisasi campur tangan pemerintah sehingga dengan sendirinya terjadi efisiensi dan pemerataan. Sehingga tidak sedikit para competititor yang mematikan competititor lainnya dengan cara – cara yang tidak halal.
Ada beberapa kebijakan di Indonesia yang telah di buat oleh kaum neolib. Pertama, Jalan bebas hambatan atau biasa disebut jalan tol. Pembangunan infrastruktur tersebut tidak dibangun oleh pemerintah negeri in melainkan para investor asing. Pembukaan kesempatan bagi investor asing untuk membangun jalan “bebas hambatan” tetapi yang menghambat biaya tersebut, beralasan untuk memberikan pelayanan bagi rakyat, nyatanya rakyat justru tercekik dengan tariff tol yang selalu naik. Sekedar info, bahwa di luar negeri, jalan apapun yang semacam jalan tol itu bebas biaya dan siapaun boleh menggunakannya.
Kedua, Subsidi BBM yang belakangan ini di gembor – gemborkan. Dengan statement bahwa subsidi BBM adalah untuk rakyat. Namun sebaliknya, kaum neolib paling tidak rela kalau penjualan BBM ke rakyat dengan harga rendah. Padahal notabene-nya BBM tersebut milik rakyat itu sendiri. Sehingga BBM tersebut dijual dengan harga tinggi dan harus mematuhi mekanisme pasar asing untuk barang yang dimilkinya sendiri. Dengan kebijakan ini, kaum neolib tidak peduli apakh rakyat menjadi miskin atau tidak. Ini jelas bertentangan dengan Undang – undang dasar ’45 yang menjamin kemakmuran bagi tiap –tiap penduduknya.
Ketiga, tentang minyak yang sejak dulu 90 % dari hasil produksi minyak di Indonesia di eksploitasi oleh pihak asing. Dengan alasan kaum neolib, bahwa kita tidak mampu menggarapnya sendiri. Jelas saja, negeri ini tidak pernah merasakan kemakmuran seperti apa yang disebut – sebut sebagai negara yang kaya akan sumber daya.
Masih ada beberapa realitas tentang keberadaaan neoliberalisme di Indonesia yang tidak bisa jabarkan karena terlalu luas.
Indonesia adalah sebuah negara yang dikenal memiliki sistem kenegaraan demokrasi yang berlandaskan Pancasila. Namun, kenyataan sehari-hari yang kita lihat bukanlah suatu sistem dari rakyat untuk rakyat, melainkan suatu sistem penekanan yang „mencecer“ para rakyat.
Mulai dari pembukaan kesempatan sebesar – besarnya kepada para investor asing sampai beberapa kebijakan yang cenderung merugikan rakyat. Ini jelas tidak menunjukkan sistem demokrasi kerakyatan yang kita anut. Selebihnya, kebijakan – kebijakan tersebut sangat bertentangan dengan sila yang terdapat dalam Pancasila khususnya sila kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab, dan sila kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Jelas saja, angka kemiskinan yang seharusnya dikurangi tetapi terus bertambah.
Isu tentang neoliberalisme semakin menguat dengan terpilihnya wakil presiden Republik Indonesia, Boediono. Seperti yang kita ketahui beliau pernah menjabat sebagai Kepala Bappenas dan Menteri keuangan periode 2001 – 2004. Selama menjabat beliau dikenal sebagai salah satu penganut neoliberalisme.
Contohnya,ketika Budiono mengatakan negara harus intervensi sesugguhnya hal tersebut bukanlah sebuah penangkalan yang utuh atas dugaan bahwa dirinya bukan penganut Neolib. Tidak ada negara di dunia ini yang sama sekali tidak melakukan intervensi dalam ekonomi.
Persoalannya bukan terletak hanya pada perlunya intervensi negara dalam ekonomi. Melainkan kepada kelompok masyarakat mana kebijakan intervensi itu diarahkan.
Kemudian ketika Boediono menjadi Kepala Bappenas. Dalam masa itu terkucurlah dana rekap perbankan Rp 600 triliun. Ironisnya, para obligor BLBI justru diberikan Release and Discharge alias dibebaskan dari masalah hukum.

Kita juga tidak lupa. Tahun 2001-2004 ketika Boediono menjadi Menteri Keuangan. Keluarlah kebijakan privatisasi dan divestasi yang tidak terkontrol.
Inilah sebuah paham yang menghalalkan segala cara. Yang kuat dia yang menang.Yang berduit dia yang berkuasa. Penjualan aset yang bukan miliknya hanya demi kepentingan individualistik merupakan cerminan bahwa manusia adalah homo economicus yang bersifat egosentris.
Menyikapi hal ini, sebaiknya generasi sekarang mengerti bagaimana keadaan negara Indonesia saat ini mulai dari hilangnya jati diri bangsa sampai perubahan sistem ekonomi maupun kenegaraan sehingga untuk kedepannya kita dapat menegakkan negara Indonesia dan melandasi kembali Pancasila yang sempat terkurung oleh kekuatan Neoliberalisme

sumber :
www.koraninternet.com
www.detik.com

* Penulis adalah seorang mahasiswi prodi Ilmu Komunikasi fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa